M-RADARNEWS.COM, JAKARTA – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh JPPI atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Untuk diketahui, JPPI adalah lembaga masyarakat sipil (CSO). Fathiyah dan Novianisa merupakan ibu rumah tangga, sedangkan Riris seorang ibu yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan perkara tersebut digelar di MK, Selasa (23/01/2024). Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Arief Hidayat dan Hakim Anwar Usman, para Pemohon yang diwakil kuasa hukumnya Arif Suherman.
Kuasa hukum Arif Suherman menyatakan, bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya.
“Negara seharusnya mewajibkan dirinya untuk menjamin nasib perolehan pendidikan anak para Pemohon, agar ada jaminan kepastian anak para Pemohon bisa menyelesaikan pendidikan hingga usia pada pendidikan dasar sesuai dengan undang-undang a quo,” katanya.
“Pada faktanya, banyak anak-anak yang putus sekolah akibat orang tua tidak memiliki uang untuk membiayai anaknya sekolah, dan banyak anak dipaksa bekerja yang semestinya mengenyam pendidikan dasar dan tidak dipungkiri lagi ikut orang tua mengemis di jalan raya,” sambungnya.
Arif menyebut, jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” UU Sisdiknas telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Bentuk diskriminasi terhadap anak yang mengikuti pendidikan dasar dapat dilihat dari anak yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah negeri tanpa dipungut biaya atau gratis, sedangkan anak yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah swasta dipungut biaya atau tidak gratis,” jelasnya.
“Anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar di swasta, bukan keinginan anak-anak tersebut, melainkan karena keterbatasan zonasi maupun daya tampung sekolah negeri. Sehingga dengan terpaksa anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri harus sekolah di swasta. Akan tetapi, banyak anak-anak yang putus sekolah karena biaya, mengingat pendidikan dasar di swasta dipungut biaya atau tidak gratis,” tegasnya.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” UU Sisdiknas, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, para Pemohon dalam porsitanya harus mampu menjelaskan pertentangan Pasal 34 UU Sisdiknas dengan Pasal 31 Ayat (1) dan (2), Pasal 28 B Ayat (2), Pasal 28C Ayat (1) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
“Uraian Saudara belum lengkap, karena kalau konsekuensinya sebanyak ini kalau dijadikan dasar kemudian harus dikontestasikan ini pertentangannya gimana. Uraian pertentangannya semakin menjadi banyak kalau kita menggunakan pembahasan, ada pertentangan secara filosofis. Ada pertentangan soal teoritik dan ada pertentangan secara empirik, maupun ada komparatif studi,” ujarnya.
“Komparatif studi itu kita bisa lihat negara-negara di Skandinavia dan negara Eropa Barat banyak yang sudah membebaskan pendidikan dari tingkat dasar sampai ke tingkat yang tinggi,” imbuh Arief Hidayat.
Kendati demikian, Arief menyebut, bahwa konsepsinya di Undang-Undang Dasarnya dan teori kesejahteraannya berbeda. Tujuan negaranya berbeda. Kita itu bahkan konstitusi kita dan Pembukaan UUD kita mengatakan Indonesia itu tidak sekedar negara welfare state tetapi religious welfare state lebih tinggi dari welfare state.
“Artinya, kesejahteraan hanya lahiriyah saja. Indonesia itu konstitusinya kesejahteraan lahir dan batin,” terang Arief.
Dalam sidang agenda Pemeriksaan Pendahuluan perkara tersebut, Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Berkas perbaikan permohonan, baik softcopy maupun hardcopy diserahkan paling lambat ke Kepaniteraan MK pada Senin 5 Februari 2024. (red/*)