JAKARTA, (M-RADARNEWS),- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menegaskan dirinya siap datang ke DPR RI jika nantinya DPR menyepakati diusulkannya hak angket terkait pengangkatan dan pengambilan sumpah Komjen Pol M Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat.
“Saya dipanggil DPR ya hadir, karena keputusan saya sudah sesuai Undang-Undang,” terang Tjahjo melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Selasa (19/6).
Kata dia, sebagai Mendagri dirinya sangat menghormati hak konstitusional DPR yang diatur dalam Undang-Undang (UU) tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Dan, apa yang mengemuka setelah dirinya melantik Komjen Pol M Iriawan dari DPR RI adalah urusan dalam perspektif politik. Yang penting dalam perspektif pemerintah bahwa tidak ada Undang-Undang-Undang atau tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar.
“Keputusan Presiden mengenai Pj Gubernur Jabar sudah sesuai dan sejalan dengan Undang-Undang,” jelas Mendagri.
Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik sebelumnya mengatakan bahwa penunjukan M Iriawan sesuai dengan Keppres Nomor 106/P Tahun 2018 tentang Peresmian Pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat Masa Jabatan 2013-2018 dan Pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Juni 2018.
Selanjutnya Komjen Pol M Iriawan selaku Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas RI dilantik oleh Mendagri di Gedung Merdeka, Bandung, Senin (18/6). Penunjukan M Iriawan ini sebagaimana amanat Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan memperhatikan Pasal 19 dan 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Menurutnya, Keppres Nomor 106/P Tahun 2018 sudah sesuai dengan ketentuan serta asas penyusunan produk hukum yang baik. Dalam prosesnya sudah memperhatikan aspek kewenangan, substansi dan prosedur yang ada.
Akmal mengakui bahwa Iwan Bule adalah polisi aktif dan hal itu tidak ada yang salah. Penunjukan TNI/Polri aktif ataupun non aktif sebagai Penjabat Gubernur seperti sebelumnya sudah ada penunjukan di Sulawesi Barat, Jawa Timur, Aceh, Papua dan Lampung.
Di dalam Pasal 201 UU Pilkada disebutkan bila masa jabatan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah habis, untuk tingkat propinsi ditunjuk Pejabat Tinggi Madya sebagai Penjabat Gubernur. Pengisian jabatan ini dilakukan agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan daerah. Ia lantas menjelaskan mengenai istilah ‘Pejabat Tinggi Madya’.
Ia merujuk Pasal 19 ayat 1 huruf b, dimana disebutkan “Jabatan Pimpinan Tinggi Madya meliputi Sekretaris Jenderal Kementerian, Sekretaris Kementerian, Sekretaris Utama, Sekretaris Jenderal Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekretaris Jenderal Lembaga Non Struktural, Direktur Jenderal, Deputi, Inspektur Jenderal, Inspektur Utama, Kepala Badan Staf Ahli Menteri, Kepala Kesekretariatan Presiden, Kepala Kesekretariatan Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Kesekretariatan Dewan Pertimbangan Presiden, Sekda Provinsi dan Jabatan lain yang setara”.
Artinya, siapapun anggota TNI/Polri yang ditugaskan menjadi pejabat Eselon I sebagai Pejabat Tinggi Madya yang bertugas di Kemenko Polhukam, Kemenhan, Sekretaris Militer Presiden, BIN, Badan Siber dan Sandi Negara, Lemhanas, Wantannas, Basarnas, MA, BNN, BNPT dan instansi Kementerian/Lembaga lainnya, secara hukum pengangkatan Sestama Lemhanas M Iriawan sudah sesuai dengan aturan hukum.
“Posisi sekarang M Iriawan sebagai Sestama Lemhamas tentunya tidak bertentangan dengan pasal-pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 (UU ASN),” kata Akmal.
Status M Iriawan sebagai polisi aktif, di dalam Pasal 20 ayat 2 dan ayat 3 UU ASN, disebutkan bahwa anggota TNI/Polri diperbolehkan mengisi jabatan ASN tertentu saja. Yakni jabatan yang ada di instansi pusat tetapi tidak termasuk instansi daerah. Instansi pusat dimaksud sebagaimana dijelaskan pada Pasal 19 ayat 1 huruf b.
“Pj Gubernur adalah pejabat administratif yang mendapat penugasan dari instansi pusat, karena yang meng-SK-kan adalah pemerintah pusat,” ucap Akmal.
Begitu juga di dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan PP Nomor 15 Tahun 2001 mengenai pengalihan status TNI/Polri menjadi PNS juga diatur mengenai istilah Penjabat Gubernur.
Pasal 9 tersebut terdapat beberapa jabaran padan Kementerian/Lembaga, dimana TNI/Polri tidak perlu alih status menjadi PNS. Aturan tersebut bersifat pengecualiaan. Akmal menekankan juga bahwa Undang-Undang terbaru mengalahkan Undang-Undang yang lama sepanjang tidak diatur secara explisit dan jelas atau lex fosterior derogat legi priori. (TIM/HSK)