BALI, (M-RADARNEWS),- Upacara potong gigi yang dilaksanakan secara massal sama sekali tidak mengurangi makna dari ritual yang dilaksanakan. Justru akan lebih membangun kekompakan umat Hindu.
Sebanyak 179 warga beragama Hindu di Kota Denpasar, mengikuti ritual “mepandes” atau potong gigi secara massal yang di gelar Pasek Maha Gotra, di Pura Pasek, Tegal, Jumat (13/7).
“Upacara potong gigi yang dilaksanakan secara massal sama sekali tidak mengurangi makna dari ritual yang dilaksanakan. Justru akan lebih membangun kekompakan umat Hindu,” kata Ketua Panitia I Wayan Tantra yang juga Perbekel Pemecutan Kelod.
Dalam prosesi yang dimaksudkan untuk mengendalikan “Sad Ripu” atau enam musuh dalam diri manusia itu (menurut ajaran Hindu), terlihat semua peserta tiap sesi silih berganti enam gigi bagian atasnya diasah oleh para “sangging” (petugas khusus yang berwenang mengasah gigi umat Hindu).
Para peserta juga melangsungkan persembahyangan bersama pada saat sebelum dan setelah giginya “dipotong”.
“Upacara yang dilangsungkan secara massal ini, selain tidak mengurangi hakikat pemaknaan ritual, dampaknya akan sangat meringankan umat Hindu, khususnya bagi mereka yang tidak mampu,” ujarnya.
Menurut Tantra, bukan besar kecilnya upacara yang akan menentukan makna dari sebuah ritual tetapi keikhlasan umat jauh lebih penting.
“Upacara potong gigi menjadi salah satu kewajiban para orang tua kepada anaknya yang harus dilaksanakan setelah putra-putri menginjak dewasa (akil baligh),” ujarnya.
Namun, tidak jarang umat menunda pelaksanaannya karena jika dilangsungkan di masing-masing rumah tangga setidaknya dibutuhkan biaya minimal Rp10 juta. Potong gigi massal ini menjadi salah satu agenda ritual yang dijadwalkan oleh Pasek Maha Gotra serangkaian upacara atma wedana.
Camat Denpasar Barat AAN Made Wijaya mewakili Walikota Denpasar menyampaikan apresiasi pelaksanaan ritual metatah (potong gigi) massal yang digelar oleh Pasek Maha Gotra.
“Saya berharap setelah mengikuti prosesi ini, semua kekotoran dan sifat negatif dalam diri dapat dikendalikan dan dihilangkan,” kata Wijaya.
Lebih lanjut Ia mengatakan, metatah jangan hanya diartikan sebagai kegiatan potong gigi semata. Mereka yang menjalani prosesi ini hendaknya memaknai upacara ini sebagai salah satu upaya untuk menghilangkan kekotoran dan mengendalikan “Sad Ripu” atau enam sifat buruk yang ada pada diri masing-masing.
“Saya berharap lebih banyak lagi lembaga yang terketuk untuk melaksanakan kegiatan semacam ini,” ujarnya. Wijaya juga mengingatkan agar umat senantiasa menyatukan langkah dan pikiran untuk menjaga kerukunan serta kelestarian adat budaya Bali. (TIM/HUM)