M-RADARNEWS.COM, JAKARTA – Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Permohonan diajukan oleh Sugeng Nugroho, Teguh Prihandoko dan Azeem Marhendra Amedi.
Para Pemohon Perkara Nomor 151/PUU-XXI/2023 tersebut mendalilkan, berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023, Hakim Konstitusi Anwar Usman memilih untuk bersikap strategis dalam menguntungkan salah satu kerabatnya melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Namun, Mahkamah menilai dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menurut Mahkamah, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan.
“Mahkamah berpendapat norma Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan yang mungkin terkait kekuasaan kehakiman. Dia merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan serta tidak mencerminkan pengakuan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” ucap Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang membacakan pertimbangan hukum pada sidang pengucapan putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (16/01/2024).
Alhasil dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak seluruh permohonan para Pemohon. “Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor Nomor 151/PUU-XXI/2023.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 151/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Aktivis Nelayan Pembela Konstitusi, Sugeng Nugroho; Aktivis Sosial Kemasyarakatan Penjaga Konstitusi, Teguh Prihandoko; serta Mahasiswa Magister Hukum, Azeem Marhendra.
Para Pemohon memberikan kuasa kepada para Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Pejuang Penegak Konstitusi (Petisi). Para Pemohon menguji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Permohonan ini diajukan sebagai buntut dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait ketentuan persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden (capres-cawapres).
“Permohonan kami ini berangkat dari tentunya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi diskusi publik akhir-akhir ini dan tergerak dari putusan tersebut, kami dalam hal ini para Pemohon sebagai warga negara mengambil sikap dan keputusan untuk mengajukan permohonan,” ujar kuasa hukum Pemohon, Fredrik Jacob Pinakunary dalam persidangan di pemeriksaan pendahuluan di MK, Rabu (06/12/2023).
Dalam permohonannya, para Pemohon menilai, materi muatan Pasal 10 Ayat 1 dan Pasal 28 Ayat 1 UU MK secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pasal 10 Ayat 1 UU MK menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pasal 28 Ayat 1 UU MK menyatakan, Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
Menurut para Pemohon, kedua ketentuan tersebut bersifat ambigu, multitafsir, dan telah terbukti membuat MK tidak imparsial, tidak netral, dan jelas memihak, sebagaimana diputus dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini berkaitan dengan keikutsertaan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara mengenai persyaratan usia minimal menjadi capres dan cawapres.
Padahal Anwar Usman memiliki benturan kepentingan karena dia seorang paman dari putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Setelah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Gibran mencalonkan diri sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.
Para Pemohon mengatakan, apabila Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbukti dihasilkan dengan diwarnai pelanggaran etik, maka terdapat kecacatan formil dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Jika dibiarkan berkekuatan hukum tetap, berlaku umum (erga omnes), dan dieksekusi, maka MK melanggengkan praktik yang mengingkari konstitusi.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 10 Ayat 1 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai, sepanjang tidak terdapat pelanggaran etik dan/atau kepatutan yang ditetapkan atau diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau lembaga apapun yang diberikan wewenang oleh peraturan perundangan-undangan.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 28 Ayat 1 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai, dan hakim konstitusi yang mengadili dan memutus dalam sidang pleno sebagaimana dimaksud secara mutlak tidak memiliki benturan kepentingan, termasuk potensi benturan kepentingan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan diputuskan.
Kemudian, para Pemohon juga meminta MK menyatakan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau setidaknya menyatakan tidak dapat dilaksanakan atau non-executable.