M-RADARNEWS.COM, JATIM – Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jember Hendra Surya Putra menjelaskan terkait dengan keluhan sejumlah petani. Mereka mengeluh lantaran tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) atas kepemilikan sawah naik signifikan. Salah satunya, terkait dengan studi kasus di Kelurahan Tegalbesar.
“Dari NJOP (nilai jual objek pajak) senilai Rp 335 ribu, menjadi Rp 917 ribu,” terang Hendra dalam keterangannya di akun Instagram @dinas_kominfo_kab_jember, Selasa (09/07/2024).
Berdasar analisis, terjadi beberapa faktor yang mengakibatkan kenaikan tarif yang signifikan itu. Misalnya, banyaknya tunggakan PBB yang belum terbayar. Lantas, bagaimana solusinya? Masyarakat sebenarnya bisa mengajukan keberatan atau pengurangan. “Nanti akan kami betulkan sesuai dengan kategori dan tarifnya,” lanjutnya.
Hendra mengatakan, bahwa masyarakat pada bidang pertanian dan peternakan juga bisa mengajukan tarif khusus. Namun, pengajuan seperti ini tidak bisa dilakukan di desa/kelurahan. “Harus ke bapenda,” tegasnya.
Jika keberatan diterima, Hendra menyebut, tarif PBB bisa turun kurang dari separuh dari tahun sebelumnya. “Ini kemudahan yang diberikan pemerintah daerah. Kami siap memfasilitasi,” tuturnya.
Hendra menyatakan, bahwa masyarakat perlu paham. Dalam rangka menjalankan amanat UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bapenda Jember sesuai perda, memisahkan tarif PBB menjadi tiga klasifikasi.
“NJOP sampai dengan Rp 1 miliar, NJOP di atas Rp 1 miliar, dan yang ketiga tarif khusus pertanian dan peternakan,” jelasnya.
Dengan demikian, Hendra menegaskan, bahwa tarif khusus pertanian dan peternakan di Jember menggunakan tarif yang sangat murah. Yakni, 0,075 persen.
Pada 2022, pihaknya melakukan survei harga pasar. Ini dilakukan kali pertama sejak 2018. Dalam hal ini, dilakukan oleh konsultan jasa penilai publik (KJJP). “Nah, nantinya akan ada rekomendasi harga pasar menjadi pertimbangan Bapenda melakukan perbaikan NJOP,” ujar Hendra.
Perbaikan NJOP dalam rangka melaksanakan undang-undang ini, tentu mengalami beberapa kendala. Misalnya, terkait dengan sawah yang banyak terdampak. “Sawah tidak seluruhnya tercantum bahwa lahan objek PBB adalah sawah. Yakni, mengarah pada objek lain,” tandasnya.
“Akibatnya, yang seharusnya menggunakan tarif PBB terendah menjadi tidak. Belum lagi, sebaran objek PBB sangat banyak sehingga tidak tertutup kemungkinan banyak mengalami kesalahan,” tutup Hendra. (red/*)