JAKARTA, (M-RADARNEWS),- Setelah dilakukan investigasi, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menduga bahwa aksi bom yang ada di Surabaya terkoneksi dengan penyerangan di Polda Riau, juga insiden di Mako Brimob, yaitu dilakukan oleh kelompok yang bernama Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang memiliki afiliasi dengan ISIS di Syria.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengemukakan, Polri didukung dengan TNI telah melakukan penindakan sehingga dalam waktu 8 hari, 13 Mei sampai 21 Mei ada 74 orang yang ditangkap 14, diantaranya meninggal dunia karena melawan pada saat ditangkap.
“Penangkapan antara lain di Jawa Timur 31 orang, Jawa Barat 8 orang, Banten 16 orang, kemudian di daerah Sumatra bagian Selatan 4 orang, Riau 9 orang, dan Sumatra bagian utara 6 orang,” kata Kapolri kepada wartawan usai Rapat Terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (22/5) sore.
Menurut Kapolri, ada sejumlah barang bukti yang disita, baik bom yang siap pakai maupun materi bahan peledak lainnya, dan kemudian baterai, switch, dan lain-lain.
Atas dasar pengungkapan itu, Kapolri telah melaporkan kepada Presiden bersama dengan Kepala BIN, Kepala BNPT, Menko Polhukam, mengenai perlunya dilaksanakan upaya-upaya yang lebih komprehensif.
Presiden dan Wakil Presiden, jelas Kapolri, jelas memberikan arahan untuk menangani permasalahan ini lebih komprehensif. Artinya, lanjut Kapolri, selain upaya-upaya penegakan hukum kepada jaringan ini, terutama mereka yang melakukan pidana, dilakuan juga upaya-upaya soft power terutama untuk membendung ideologi terorisme ini.
“Saya sampaikan ideologi terorisme bukan ideologi agama tertentu,” tegas Kapolri.
Kemudian, lanjut Kapolri, upaya pengembangan ekonomi, maupun upaya-upaya soft lainnya, termasuk melibatkan stakeholder pemerintah dan dan masyarakat, mulai dari masalah kajian tentang kurikulum, masalah pentingnya untuk membendung ideologi terorisme dengan ideologi lain secara lebih intens, seperti Pancasila dan lain-lain.
Kemudian juga stakeholder lainnya, tambah Tito, melalui pengembangan-pengembangan dan pendekatan-pendekatan yang lebih humanis, memberikan penerangan untuk meluruskan ideologi terorisme ini yang melibatkan bukan hanya pemerintah tapi juga kalangan masyarakat.
Dari Kepolisian sendiri, menurut Kapolri, menginginkan agar revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme dapat cepat dilaksanakan sehingga penanganannya akan jadi lebih komprehensif.
Menurut Kapolri, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 itu penanganannya belum tergambar secara komprehensif, lebih banyak untuk mengungkap kasus bom Bali. Dengan undang-undang baru, Kapolri berharap penanganannya akan komprehensif yang melibatkan banyak pihak, tapi tetap menghargai nilai-nilai demokrasi, tetap menghargai nilai-nilai HAM dan lain-lain.
“Jadi penanganannya mulai dari masalah pencegahan yang melibatkan banyak pihak,” tegas Kapolri.
Kapolri Jendral Tito Karnavian mengingatkan, bahwa aksi terorisme hanyalah puncak gunung es, sementara akar gunung esnya itu meliputi permasalahan-permasalahan yang cukup komprehensif, meliputi masalah ekonomi, masalah ideologi, masalah keadilan dan lain-lain, ketidakpuasan, ini perlu ditangani juga.
“Pada prosesnya untuk menuju aksi terorisme itu tidak terjadi begitu saja. Seperti dalam kasus Surabaya, itu prosesnya cukup panjang,” ungkap Kapolri.
Jadi, lanjut Kapolri, Presiden memberikan arahan untuk penanganan komprehensif, baik menggunakan hard power berupa penegakan hukum yang melibatkan semua stakeholder terkait, BIN, TNI, BNPT. Ia menambahkan juga langkah-langkah yang komprehensif untuk melakukan pencegahan dan juga pasca peristiwa, terutama untuk mengubah mindset ideologi terorisme itu. (Tim/Sk)