M-RADARNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keinginan para Pemohon yang meminta agar blank vote/kotak kosong tidak hanya diterapkan pada pilkada dengan pasangan calon (paslon) tunggal, tetapi juga diterapkan pada pemilihan yang diikuti lebih dari satu pasangan calon (paslon).

Keputusan ini diambil setelah para Pemohon mengajukan pengujian materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) serta UU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ), dalam sidang Perkara Nomor 125/PUU-XXII/2024, digelar di Ruang Sidang MK, Kamis (14/11/2024).

MK berpendapat ketentuan norma Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015 tentang Pilkada serta Pasal 94 UU 8/2015 dan Pasal 10 ayat (3) UU 2/2024 tentang Provinsi DKJ telah ternyata tidak melanggar prinsip kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum, prinsip pilkada yang demokratis, prinsip pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Ketua MK Suhartoyo mengatakan, dalam pemilihan kepala daerah Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sejenis “blank vote” yaitu sejak 2015 melalui Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015. Dalam hal ini, model “blank vote” dimaksud diperintahkan oleh MK untuk diterapkan pada pilkada dengan calon tunggal.

“Blank vote/kotak kosong dalam calon tunggal menjadi sebuah pilihan meskipun bukan merupakan pilihan yang ideal, karena menghilangkan makna kompetisi dan kontestasi dalam pengertian yang sesungguhnya. Karena itu, “blank vote” pada pemilihan dengan calon tunggal di Indonesia adalah jalan keluar terakhir demi menyelamatkan hak memilih warga negara yang terancam tidak dapat dipenuhi,” ujarnya.

“Hal yang harus diutamakan adalah pemilihan dengan kompetisi yang sehat dengan lebih dari satu pasangan calon, sehingga tidak perlu ada “blank vote” sebagaimana pada calon tunggal,” tambah Suhartoyo.

Menurut MK, bagi negara Indonesia yang menghendaki adanya kompetisi dan kontestasi dalam pemilihan langsung. Maka “blank vote” bukanlah pilihan yang ideal, karena yang diharapkan adalah adanya adu gagasan dan program dari para pasangan calon dalam kontestasi yang sehat. Karena itulah “blank vote” pada calon tunggal adalah jalan keluar dari kekosongan hukum yang terjadi, namun bukan menjadi pilihan yang ideal.

“Dengan pertimbangan demikian, menurut Mahkamah dengan tidak adanya pilihan ‘blank vote’ dalam pilkada dengan lebih dari satu pasangan calon tidak mengurangi hak memilih para Pemohon. Para Pemohon adalah pemilih yang telah terdaftar dalam DPT, sehingga jelas memiliki hak pilih yang tidak dapat dihalangi,” tuturnya.

Tidak ada hak pilih yang hilang atau terganggu dengan tidak adanya ‘blank vote’ pada pemilihan kepala daerah dengan lebih dari satu pasangan calon. Namun akan berbeda jika ‘blank vote’ tidak ada pada pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal, yang tanpa ‘blank vote’ maka pemilihan akan ditunda di pemilihan berikutnya, sehingga tidak ada kontestasi yang dikehendaki sebagai sebuah sistem pemilihan,” sambung Suhartoyo.

Selain itu, menurut MK, memilih dan dipilih bukan merupakan kewajiban sehingga bagi pemilih yang menganggap tidak ada pasangan calon yang sesuai kehendaknya, tidak dapat dipaksakan untuk tetap memilih apalagi sampai dikenakan sanksi jika tidak memilih.

Dalam hal ini, tentu MK sama sekali tidak bermaksud mendorong masyarakat untuk tidak memilih atau melepaskan haknya dalam pemilihan kepala daerah, apalagi dengan alasan tidak ada calon yang dikehendaki dan tidak ada “blank vote” yang dapat dipilih, karena dengan memilih maka masyarakat telah berpartisipasi aktif pada proses politik yang merupakan tanggung jawab bersama.

“Menurut Mahkamah, terlepas dari benar atau tidaknya ihwal kartel politik yang menyebabkan persoalan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, persoalan demikian terletak pada awal tahap pemilihan yaitu pada proses penjaringan calon, yang seharusnya diselesaikan dengan memperbaiki proses pencalonan. Karena proses pencalonan bukan hanya tentang parpol yang memiliki strategi dan manuver tertentu untuk mencapai tujuannya, namun juga terkait figur/tokoh yang memiliki keinginan untuk maju dan memimpin daerah,” ucap Suhartoyo.

Sementara itu, MK menilai posita dan petitum permohonan para Pemohon terkait Pasal 107 ayat (1), Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pilkada dan Pasal 10 ayat (2) UU 2/2024 tentang Provinsi DKJ menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur). Ketidakjelasan demikian berakibat permohonan para Pemohon terhadap kedua norma a quo tidak memenuhi syarat formal permohonan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b angka 3 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.

Sebagai informasi, para Pemohon perkara ini adalah Heriyanto (Pemohon I), Ramdansyah (Pemohon II), dan Raziv Barokah (Pemohon III). Menurut para Pemohon, pemilihan kandidat paslon kepala daerah yang diusung saat ini tidak memperhatikan kehendak rakyat, melainkan mengutamakan pilihan elite parpol. Para Pemohon menguraikan, bakal paslon kepala daerah di sejumlah wilayah tidak diusung untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya kepentingan penguasa.

Pada pokoknya, para Pemohon menginginkan ada fasilitasi terhadap keberadaan suara kosong atau blank vote dengan mengakui keberadaan kotak kosong di dalam surat suara bagi daerah yang memiliki dua atau lebih pasangan calon dan menyatakan suara kosong sebagai suara sah dan mempengaruhi keterpilihan dari hasil pilkada.

 

 

Sumber: MK RI
Editor: Rochmad QHJ
Spread the love